A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER
1. Istilah
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war). Dalam perkembangannya kata-kata perang (war) menimbulkan ketakutan yang mendalam, sehingga timbul istilah baru yaitu pertikaian bersenjata (arm conflict) untuk menggantikan istilah perang sekalipun perang masih terjadi di mana-mana. Sesudah perang dunia II dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Sikap tersebut berpengaruh dalam penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict).
Dalam perkembangan selanjutnya yaitu permulaan abad ke-20 diusahakan untuk mengatur cara berperang yang dalam penyusunannya dilengkapi dengan konsepsi-konsepsi asas kemanusiaan (humanity principle), yang pada akhirnya istilah laws of armed conflict mengalami pergeseran dengan istilah baru International Humanitarian Law Aplicable in Armed Conflict, yang kemudian sering disingkat dengan istilah international humanitarian law atau hukum humaniter internasional
Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda yaitu hukum perang, hukum sengketa bersenjata, hukum perikemanusiaan internasional, Hukum Humaniter Internasional (HHI), tetapi semua istilah itu mempunyai arti yang sama yaitu mengatur tentang tata cara dan metode perang serta perlindungan terhadap korban-korban perang.
Adapun pengertian perang oleh Francois didefinisikan sebagai keadaan hukum antara negara-negara yang saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer. Sedangkan Oppenheim mendefinisikan perang sebagai persengketaan antara dua negara dengan maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti yang diinginkan oleh yang menang (Haryomataram1994: 4)
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu:
Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag)
Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa)
Sedangkan Mochtar Kusumaadmadja membagi hukum perang sebagai berikut:
Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan
Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
§ Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Disebut The Haag Laws.
§ Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Disebut The Geneva Laws.
1. Pengertian Hukum Humaniter
Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an yang ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict tahun 1971. Selanjutnya pada tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation dan Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict.
Berikut adalah beberapa pengertian hukum humaniter menurut :
a. Mochtar Kusumahadmadja
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan perang itu sendiri. Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur ketentuan yang memberi perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan hukum perang yang mengatur tentang perang tersebut.
b. International Committee Of The Red Cross (ICRC)
Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional maupun kebiasaan, yang dimaksudkan untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional atau non internasional. Ketentuan tersebut membatasi, atas dasar kemanusiaan, hak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan senjata dan metode perang, dalam melindungi orang maupun harta benda yang terkena pertikaian bersenjata.
c. Geza Herczegh
International humanitarian law hanyalah terbatas pada Hukum Jenewa saja, karena konvensi inilah yang mempunyai sifat internasional dan humaniter.
d. Jean pictet
International humanitarian law in the wide sense is contitusional legal provition, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.
e. Esbjorn Rosendbland
Hukum humaniter internasional mengadakan pembedaan antara : the law of armed conflict, yang berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, hubungan pihak pertikaian dengan negara netral. Sedangkan law of warfare ini antara lain mencakup : metode dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil.
f. Panitia Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.
g. Palang Merah Indonesia (Brosur PMI)
Hukum perikemanusiaan internasional atau juga dikenal dengan hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional publik yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena pertikaian bersenjata baik internasional maupun non internasional.
Dari semua definisi tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hukum Humaniter Internasional yaitu, ketentuan hukum yang berasal dari perjanjian internasional atau kebiasaan internasional yang mengatur tata cara dan metode berperang serta perlindungan terhadap korban perang, yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena pertikaian bersenjata baik yang bersifat internasional maupun yang bersifat non internasional.
1. Asas-Asas Hukum Humaniter
Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut (Arlina dkk, 1999:11).
a. Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b. Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c. Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
Dalam situasi sengketa bersenjata pihak lawan diperbolehkan untuk menggunakan berbagai strategi untuk menundukkan lawannya supaya kemenangan berada di pihaknya. Tetapi harus memperhatikan berbagai asas yang lain yaitu harus memperhatikan asas perikemanusiaan dan asas kesatriaan, yaitu perang harus dilaksanakan dengan jujur dan harus memperhatikan aspek kemanusiaan.
Menurut Rina Rusman, Legal Adviser pada ICRC, Jakarta, dalam HHI ada prinsip-prinsip HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu (Rina Rusman, 2005: 5):
a. Prinsip Kemanusiaan
Prinsip-Prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metoda berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata.
Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusian sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia dimanapun ditemukan. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas atau politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan, memberikan prioritas kepada kasus-kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak
b. Necessity ( keterpaksaan)
Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran militer atau obyek militer, terdapat pula ketentuan HHI yang memungkinkan suatu obyek sipil menjadi sararan militer apabila memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, prinsip keterpaksaan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu obyek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu.
c. Proporsional (Proportionality)
Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan langsung dari serangan tersebut.
d. Distinction (pembedaan)
Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi orang sipil.
e. Prohibition of causing unnecessary suffering ( prinsip HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya).
Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, sering disebut sebagai principle of limitation (prinsip pembatasan). Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.
f. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.
Pemberlakuan HHI sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para Pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut.
Contoh tentang pemisahan ius ad bellum dengan ius in bello dapat dilihat dalam Keputusan Prosecutor of the International Crime tribunal for Yugoslavia (ICTY) tanggal 14 Mei 1999 berdasarkan Pasal 18 Statuta ICTY. Keputusan tersebut adalah tentang pembentukan suatu komite yang diberi mandat untuk memberikan advis kepada Prosecutor mengenai apakah ada dasar yang cukup untuk melakukan investigasi atas dugaan adanya pelanggaran HHI dalam serangan udara yang dilakukan NATO di Yugoslavia. Terlepas dari isi laporan komite tersebut, keputusan Prosecutor tersebut menunjukkan pengakuan tentang prinsip pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello. Dalam hal ini terlihat bahwa walaupun penggunaan kekerasan oleh NATO mungkin dibenarkan berdasarkan Bab VIII Piagam PBB, tetapi tidak berarti bahwa HHI menjadi tidak berlaku.
g. Ketentuan minimal HHI.
HHI telah dilengkapi dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan dalam setiap situasi konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non internasional. Ketentuan minimal yang dimuat di Pasal 3 ketentuan yang sama dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (Pasal yang bunyinya dalam semua dalam Konvensi Jenewa I s/d IV).
Masing-masing prinsip HHI ini bersumberkan tidak pada satu macam sumber HHI saja, melainkan dari bermacam sumber. Prinsip-prinsip tersebut, sebagai bagian dari suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan dan membantu penafsirannya.
1. Tujuan Hukum Humaniter
Pertikaian bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, oleh karena itu hukum humaniter tidak bermaksud menghalangi perang. HHI disusun untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan hukum humaniter adalah memanusiaakan perang. Di samping itu ada beberapa tujuan hukum humaniter yaitu (Arlina permanasari dkk, 1999:12)
(1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
(2) Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi;
(3 ) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi penderitaan setiap individu dalam situasi konflik bersenjata.
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER
Menurut Arlina hukum humaniter memiliki sejarah yang panjang, hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri dan perang sama tuanya dengan kehidupan manusia di bumi. Dalam rentang waktu yang sangat panjang telah banyak dilakukan upaya-upaya untuk memanusiakan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang.
Upaya-upaya tersebut oleh Arlina dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu:
1. Zaman kuno
Pada masa ini para pimpinan militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh dan pada waktu penghentian permusuhan, pihak-pihak yang bersengketa biasanya sepakat memperlakukan tawanan dengan baik. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dahulu. Untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati.
Dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-1500 SM, upaya-upaya tersebut berjalan terus. Hal ini dikemukakan Pictet sebagai berikut:
Pada Bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir
Kebudayaan Mesir Kuno, adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh, juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati
Kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi
Di India, para satria dilarang membunuh musuh yang cacat, menyerah dan yang luka harus dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Senjata yang beracun dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat penahanan para tawanan perang telah diatur.
Dari beberapa uaraian diatas, maka dapat diketahui bahwa perang selalu ada dan sulit dihindari, oleh karena perang sulit untuk dihindari masyarakat bangsa-bangsa pada zaman kuno berusaha untuk memanusiakan perang, sehingga tidak menimbulkan penderitaan yang tidak perlu bagi manusia.
2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam, dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen memberikan sumbangan terhadap konsep perang yang adil atau just war. Ajaran Islam memandang bahwa perang adalah sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Prinsip kesatriaan mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu.
3. Zaman Modern
Latar belakang HHI ini terkait erat dengan sejarah Palang Merah. Ide yang dituangkan oleh Jean Henry Dunand dalam bukunya “ Kenangan dari Solferino “ melahirkan Komite yang kemudian menjadi komite Palang Merah Internasional. Atas Prakarsa komite tersebut pemerintah Swiss mengadakan konferensi diplomatik pada tahun 1864 di Jenewa yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini berisi tentang perlindungan terhadap anggota angkatan perang yang luka atau sakit tanpa membedakan agama dan bangsa.
Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat Presiden Amerika Serikat Lincoln meminta Lieber, seorang pakar imigran Jerman untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya adalah Instructions for Government of Armies of the United States atau disebut dengan Lieber Code, yang dipublikasikan pada tahun 1963. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang di darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti tawanan perang yang luka dan sebagainya.
Konvensi Jenewa 1864 terus dikembangkan dan dilengkapi sehingga menjadi empat konvensi pada tanggal 12 Agustus 1949 diterima oleh masyarakat internasional sebagai Konvensi-konvensi Jenewa 1949 atau Konvensi Palang Merah. Pasca Perang Dunia (PD) II terjadi perubahan tatanan dalam peperangan yang cenderung lebih banyak menimbulkan korban di pihak penduduk sipil dan lebih bersifat non internasional. Untuk mengakomodasikan keadaan tersebut maka disepakati Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa 1949 pada tahun 1977 yang dikenal dengan Protokol Tambahan I dan II 1977. Tidak seperti masa-masa sebelumya, dimana aturan perang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini hukum humaniter internasional dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh negara-negara.
ConversionConversion EmoticonEmoticon